Rabu, 17 April 2013

Metode Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga


Metode Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga
1.            Kasih Sayang
Rasa cinta dan kasih sayang ini dapat memenuhi kebutuhan bayi akan cinta, rasa aman dan penghargaan diri. Allah Ta’ala dengan nikmat-Nya menjadikan kasih sayang ini sebagai insting dalam diri orang tua. Orang tua hendaklah menghindari rasa benci apapun terhadap anaknya karena sebagian besar orang-orang durhaka adalah mereka yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tua pada masa kecilnya[1].

2.            Disiplin
Mendidik jiwa agar mampu mengendalikan hawa nafsu dan menjaga kesucian jiwa. Kemampuan ini berkembang dalam diri bayi yang disebut sebagai sifat disiplin dan kemampuan menguasai diri.[2]
3.            Teladan yang Baik
Moralitas terbentuk dengan meniru, bukan dengan nasihat atau petunjuk . yang lemah meniru yang kuat. Anak-anak dengan fitrahnya merasa kagum terhadap orang tuanya. Oleh karena itu, mereka selalu menganggap bahwa sikap dan tingkah laku orang tuanya adalah yang paling sempurna. Orang tua hendaklah menyadari bahwa mereka selalu diawasi oleh anak-anak yang hatinya masih suci yang merekam setiap tingkh laku orang tuanya, membangunnya dalam dirinya dan menirunya[3].
4.            Pengajaran dan Penilaian
Yang dimaksud dengan pengajaran dan penilaian di sini adalah memberikan penilaian baik atau buruk terhadap tingkah laku anak dan tingkah laku orang lain sehingga anak mengetahui bahwa ini benar dan itu salah, kemudian kita jadikan halal dan haram sebagai penilaian yang kita berikan. Kemudian kita menghadiahinya atas kesalahannya, walaupun dengan sekedar pujian atau celaan. Pengajaran, penilaian, dan pembalasan atas apa yang anak perbuat, akan membukakan hati anak.[4]
5.            Kisah-kisah Para Nabi
Anak-anak menyukai mendengarkan cerita karena daya hayak mereka luas dank arena kisah atau cerita bisa menggambarkan sesuatu peristiwa seperti nyata. Kisah-kisah yang termuat dalam AlQur’an disampaikan dengan berbagai tujuan, diantaranya pendidikan akhlak. Waktu-waktu bahagia yang dilewati anak bersama kedua orang tuanya mempunyai pengaruh besar terhadap kepribadian anak dan hubungan batin mereka dengan kedua orang tuanya.[5]
6.            Imbalan dan Hukuman
Pendidikan moral tidak akan ada artinya bila tidak disertai sanksi dan hukuman. Baik imbalan maupun hukuman harus diterapkan secara berangsur, muali dari senyuman atau pujian sampai imbalan materi seperti mainan, sepedah, dan lain-lain. Begitu pula sanksi, dimulai dari larangan bermain sampai moral, selain pukulan. Karena anak tidak boleh dipukul sebelum menhinjak usia sepuluh tahun. Dan ketika menghukumnya, hendaklah diterangkan dan dijelaskan kepada anak mengapa kita menghukumnya dan bagaimana sikap yang benar yang akan diberi imbalan baik.[6]
7.            Menumbuhkan Kepekaan Hati
Pendidikan moral tidak akan sampai pada tujuan, kecuali apabila telah tumbuh kepekaan hati sehingga seseorang bisa menilai perbuatannya dari lubuk hati. Hati adalah pengadilan di dalam tubuh yang mengadili manusia atas perbuatannya. Ia akan mendapatkan balasan yang setimpal, imbalan dengan perasaan ridha dan tuma’ninah, dengan rasa bersalah, penyesalan dan kebingungan.
Begitu juga harus kontinu dalam menghukum anak atas kesalahannya sehingga dia merasa jera. Merupakan suatu kesalahanbesar apabila ayah memberikan imbalan, sementara ibu memberikan hukuman atas satu perbuatan yang sama. Atau kakek dan nenek ikut campur dan melarang menghukum cucunya karena merasa kasihan. Merupakan hal yang tidak diperbolehkan anak dihukum oleh saudara-saudaranya sebelum orang tua melakukan. Apa yang dianggap salah hari ini tidak menjadi benar pada hari esok karena anak tidak memahami apa yang dipahami orang dewasa mengenai fleksibilitas dan pertumbuhan nilai itu. Kontinuitas dan komitmen sangat penting sekali sehingga anak sampai pada suatu qaidah dengan kesimpulannya sendiri.[7]


[1]Khalid Ahmad Asy-syantut (2005) : rumah pilar utama pendidikan Anak, Jakarta : Robbani Press. h.56
[2] Ibid h.57
[3] Ibid. h..59
[4] Ibid. h.61
[5] Ibid. h.h.62-63
[6] Ibid. h.h.63-65
[7] Ibid. h.h.70-72

Minggu, 14 April 2013

fase pertumbuhan anak


fase-fase pertumbuhan
I. Fase Enam Tahun Pertama (0-6 tahun)
Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalami dalam pembentukan pribadinya. Adapun yang terekam dalam benak pada periode ini, nanti akan tampak pengaruhnya pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa10.
Diantara karakteristik pada fase11 ini adalah sebagai berikut:
a.             Dapat mengontrol tindakannya.
b.            Selalu ingin bergerak adalah suatu yang alami (bila dalam batas yang wajar)
c.             Berusaha mengenal lingkungan sekeliling (karena itu sering kita melihat ia mengotak-atik sesuatu atau menghancurkannya)
d.            Perkembangan yang cepat dalam berbicara (oleh karena itu hampir tidak pernah berhenti berbicara. Hal ini pun merupakan tabiat yang wajar).
e.             Senantiasa ingin memiliki sesuatu dan egois, dari mulai pertumbuhannya. Dari sini mulai tumbuh sikap keras kepala, suka protes, menanyai suatu hal berulang kali.
f.             Mulai membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk (karena itu sikap memberi kepuasan dan lemah lembut terhadap mereka lebih tepat dari pada memukul dan mengancam)
g.            Pada fase ini anak mulai mempelajari dasar-dasar perilaku social yang dibutuhkannya saat beradaptasi di sekolah pada saat mereka masuk ke kelas satu.
h.            Fase ini adalah usia eksplorasi



II.          Fase Setelah Enam Tahun Pertama (6-12 tahun)
Pada periode ini anak menjadi lebih siap untuk belajar secara teratur. Ia mau menerima pengarahan lebih banyak dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman sepermainannya. Dapat kita katakan, pada periode ini anak lebih mengerti dan lebih semangat untuk belajar dan memperoleh keterampilan-keterampilan, karenanya ia bisa diarahkan secara langsung12

III.       Fase Remaja
Pada fase ini pertumbuhan jasmani anak menjadi cepat, wawasan dan akalnya bertambah luas, emosinya menjadi kuat dan semakin keras, serta naluri seksualnya pun mulai bangkit13.


10 Yusuf Muhammad Al Hasan (1998), Pendidikan Anak dalam Islam, hal. 26
11 Abu Amr Ahmad Sualiman, Metode Pendidikan Anak Muslim Usia Prasekolah, jilid 1, hal. 3
12 Yusuf Muhammad Hasan (1998), pendidikan Anak dalam Islam . h. 33
13 Ibid. hal. 46

Jumat, 12 April 2013

pengembangan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan


BAB I
PENDAHULUAN
Proses Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh guru, dalam menyampaikan materi yang diajarkan kepada siswa dalam suatu lembaga pendidikan agar dapat mempengaruhi cara siswa mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan pada dasarnya mengajak para pesera didik menuju pada perubahan tingkah laku baik intelektual, moral maupun sosial. Dalam mencapai tujuan tersebut berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru melalui proses pembelajaran. Seperti yang tercantum dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (2005:15) yaitu:
Fungsi tujuan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan mengacu pada tujuan pendidikan nasional maka dengan sendirinya guru dituntut untuk dapat mengembangkan potensi anak didik dengan memperhatikan materi apa yang terkandung pada mata pelajaran yang akan diajarkannya karena dengan begitu maka seorang guru mampu memberikan yang terbaik bagi siswanya.
Seiring dengan perkembangan zaman serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, maka kita dituntut untuk terus mengadakan pembaharuan disegala lini kehidupan. Terutama yang bersentuhan langsung dengan kemajuan ilmu pengetahuan, dimana dalam Sistem yang ada di dalam pendidikan harus terus mengadakan perubahan kearah yang positif. Berbagai teknik pembelajaran, baik itu metode, pendekatan, maupun tata cara atau aturan dalam pembelajaran banyak dirancang untuk menghasilkan transfer ilmu pengetahuan dari guru ke siswa yang lebih optimal. Terkhusus Metode Pembelajaran Aktif Kretif Efektif dan Menyenangkan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengembangan Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan
Sebuah proses pembelajaran, oleh seorang guru profesional akan diharapkan untuk dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dia akan berusaha agar pembelajarannya dapat diterima siswa dengan  daya serap yang tinggi, dan siswanya memiliki nilai, kemampuan dan ketrampilan. Suharsimi Arikunto (1999) dalam ‘Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek”. Menyatakan :
“Seorang guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar. Ia membantu si anak didik. Ia selalu berusaha agar kadar bantuannya dapat meningkat, sehingga diperoleh hasil yang lebih baik. Usahanya ada bermacam-macam. Mungkin ia memberikan motivasi belajar yang banyak. Mungkin ia mengganti metode yang ia gunakan untuk menerangkan, mungkin ia mengubah alat peraga dan sebagainya.”
Permasalahan yang saat ini sedang berkembang, dan banyak dipertanyakan adalah, apakah pada saat kita berusaha mengajar sebaik-baiknya, si anak juga akan belajar sebaik-baiknya? Winarno Surakhmad dalam masalah ini, menyatakan :
“Karena itu saya ulangi sekali lagi, mengajar diperlukan untuk memungkinkan terjadinya proses belajar. Bukan, dan tidak pernah sebaliknya. Masalah yang dapat kita amati di dalam praktek, dan patut selalu kita pertanyakan ialah, apakah ketika guru (merasa ) mengajar, sudah pasti bahwa murid belajar. Kenyataan menunjukkan, bahwa hal itu tidak selalu demikian. Sesekali anda sendiri pasti dapat mengamati bahwa sesungguhnya rekan anda, atau anda sendiri barangkali? Telah berusaha mengajar sebaik-baiknya, ada saja murid yang belum menunjukkan tanda-tanda telah belajar, yakni tanda-tanda telah paham.”.
Bila seorang ahli telah berpendapat demikian, dan kita juga merasakan bahwa apa yang kita lakukan selama ini demikian pula, maka diperlukan satu pola baru, yang memungkinkan siswa belajar. Atau dengan kata lain, diperlukan suatu strategi pembelajaran yang memungkinkan untuk membelajarkan anak. Stratregi belajar yang memungkinkan anak untuk aktif belajar. Dan untuk mengembangkan aktifitas belajar, dengan mengurangi sedikit mungkin proses mengajar, adalah dengan cara mengembangkan kreatifitas siswa untuk aktif belajar. Bambang Soenarko dalam “Metodologi Pembelajaran ” menyatakan :
“Kreatifitas merupakan proses kerja baik secara fisik maupun psikhis untuk menghasilkan sesuatu yang baru bagi yang melakukan kreatifitas. Sedang guru yang mendorong kreatifitas adalah guru yang menciptakan kondisi bagi siswa untuk aktif memproses sendiri pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dimilikinya sebagai hasil belajar.”
Pandangan Bambang Soenarko sangat jelas sebenarnya, yaitu bahwa guru dalam proses pembelajaran harus mempunyai strategi agar siswanya memiliki kondisi untuk aktif memproses sendiri pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dimilikinya, sebagai hasil belajar. Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan. Namun, karena beberapa saat yang lalu, kita belum benar-benar menyadari, maka hanya menjadi satu kata mutiara yang kurang bermakna.
Bentuk yang memungkinkan untuk menumbuhkan aktifitas, kreatifitas, dan mampu mengembangkan motivasi siswa untuk belajar, dapat dilihat dari apa yang disampaikan dalam “Pendekatan kontekstual” Depdiknas (2003:1) serbagai berikut :
“Pentingnya lingkungan belajar :
·         Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari “guru akting di depan kelas, siswa menonton, Ke “siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.”
·         Pengajaran harus berpusat pada “bagaimana cara” siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. “Strategi belajar” lebih penting dibandingkan hasilnya.
·         Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assesment) yang benar.
·         Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.”
Dikaitkan dengan beberapa hasil studi banding yang dilaksanakan beberapa saat yang lalu , diperoleh beberapa catatan yang dapat dikaitkan dengan yang ditunjukkan oleh pendekatan kontekstual. Beberapa catatan itu sebagai berikut :
1.      Dibentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari maksimal 6 orang, yang berfungsi sebagai sarana pengembangan kreatifitas di bawah strategi guru. Kelompok dipandang sebagai landasan untuk membentuk “komunitas belajar.”
2.      Guru mengembangkan strategi pembelajaran dengan menggunakan teknik moderasi, sehingga memungkinkan mengarahkan siswa tanpa memberikan petunjuk. Tetapi memancing siswa agar “berfikir ke arah itu.” Jadi di sini guru tidak meninggalkan siswa untuk aktif sendiri, tetapi mengembangkan strategi yang memungkinkan siswa untuk berfikir dan bertindak ke arah aktifitas dan kreatifitas belajar dengan sendirinya.
3.      Siswa belajar dengan mempertimbangkan apa, mengapa dan bagaimana yang dipelajarinya. Dengan terlebih dahulu melihat beberapa fortofolio yang dimilikinya, dan berdiskusi dengan guru pembimbing tentang mengapa ia belajar. Sehingga mereka melakukan aktifitas belajar dengan sadar akan apa yang dilakukannya.
4.      Siswa dipersilahkan memilih sendiri akan belajar dengan model bagaimana, membaca, berdiskusi dengan teman, atau dengan guru, atau bahkan ingin  mengunjungi perpustakaan untuk melengkapi pengetahuan berkait dengan pengetahuan yang dimilikinya.
5.      Siswa bersama guru menentukan nilai fortofolio yang dikerjakannya, dan dipajang ditempat yang tertera namanya.
Dengan konsep-konsep di atas, diharapkan, khususnya guru, akan mau dan mampu untuk mengembangkan strategi pembelajarannya, dan merubah paradigma berfikirnya, dengan membelajarkan anak. Atau dengan kata lain memiliki tekad bahwa tujuan pembelajaran yang dilakukannya adalah agar anak belajar untuk belajar memilki dan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.
2.      Strategi Pembelajaran.
Telah banyak dikemukaan di atas tentang strategi pembelajaran yang kini sedang dikembangkan. Mengapa strategi pembelajaran?
Karena sejalan dengan banyaknya kritik para ahli tentang kegagalan pendidikan di Indonesia. Dan mengapa terjadi kegagalan, kita simak yang ditulis oleh Winarno Soerakhmad dalam “Mungkinkah mengembangkan sendiri kurikulum di sekolah ?” (2003) yang dimuat dalam Fasilitator berikut :
“Relatif masih banyak Kepala Sekolah dan guru yang tidak pernah mengerti betul apa yang dimaksudkan oleh para penyusun kurikulum dengan berbagai konsep di dalam setiap kurikulum baru, sampai saatnya kurikulum itu harus diganti dengan kurikulum yang lebih baru. Ada kemungkinan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang sekarang sedang dipertanyakan, disosialisasikan, diuji cobakan dan dikembangkan oleh pemerintah, akan mengulangi penderitaan para guru yang tidak mengerti arah yang dituju, persis seperti ketika menghadapi kurikulum 1994.”
Ini adalah bentuk kegagalan yang pertama dari bentuk sosialisasi dan pemberlakukan kurikulum yang tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam tentang esensi dari kurikulum itu sendiri.
Bentuk kegagalan yang ke dua adalah juga yang digambarkan oleh Winarno Surakhmad dalam “Ketika Guru Mengajar, Apakah Murid Belajar?” (2003) berikut :
“Mengajar yang baik tidak harus berarti banyak mengajar (baca : menjelaskan). Bukan makin banyak makin baik. Bukan yang banyak yang baik. Tetapi yang baik selalu bernilai banyak. Mengajar yang berlebihan justru sering menggambarkan kelemahan kompetensi guru, Ada sedikitnya dua kemungkinan penyebabnya.
Pertama : karena guru menganggap murid-muridnya terlalu bodoh, sehingga “walaupun sudah diterangkan seribu kali” murid-murid masih saja tidak mengerti.
Kedua : karena gurunya justru gagal untuk belajar bagaimana menjadi guru yang efektif.”
Mengapa gagal untuk belajar menjadi guru yang efektif ? Banyak hal yang harus dicermati. Dalam “Pendekatan Kontekstual” (2003) disampaikan hal berikut :
“Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai seperangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu diperlukan sebuah strategi belajar “baru” yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan-pengetahuan dibenak mereka sendiri.”
Pendapat di atas mengacu pada strategi belajar yang memberdayakan siswa. Dalan hal ini terdapat penekanan, yaitu memberdayakan siswa. Dan untuk memberdayakan siswa agar dapat belajar maksimal, diperlukan guru-guru yang mau merubah pandangannya tentang mengajar. Salah satu bentuk perubahannya adalah seperti yang diuraikan oleh “Pendekatan kontekstual” (Contextual teaching and Learning) berikut :
“Pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situiasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan dengan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih penting daripada hasil” (2003:1)
Strategi pembelajaran lebih ditekankan dari pada hasil, karena selama sekian tahun kita telah dimabukkan dengan pencapaian prestasi, merusak pembentukan belajar untuk belajar mengumpulkan pengetahuan
Pengembangan Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan Sebagai Strategi mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Situasi belajar yang demikian akan memotivasi setiap pembelajar untuk mengaktualisasikan, mendayagunakan dan mengembangkan potensi-potensi secara optimal dalam suatu orkestra interaksi multi arah yang harmonis, dan atas hamparan kasih sayang dan empati guru.”(2003:5)
Strategi pembelajaran yang demikian, di mana siswa tidak lagi harus menghapalkan data dan fakta-fakta yang acak, yang kelak juga akan membentuk pola dan landasan berfikir yang acak pula, diharapkan lahir manisia-manusia baru yang lebih sistematis dalam berfikir, berbicara, bertindak, mampu mengembangkan nilai, moral dan etika. Dengan strategi pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM), akan tumbuh pula manusia-manusia baru yang berfikir serta bertingkah laku yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan pula.
Demikian pula dalam hal agar guru mau mengurangi sebanyak mungkin mengajarnya, serta menggantinya dengan strategi siswa belajar dengan mengkonstrusi pengetahuan (Constructivisme Learning/CL), Tetapi yang penting adalah bagaimana guru dapat mengembangkan strategi agar siswa dapat belajar dengan aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Teori Bruner (Fasilitator Edisi I Tahun 2003:18) tentang belajar perlu kita simak untuk lebih memberikan pemahaman kita tentang belajar sebagai berikut :
“Bruner tidak mengembangkan suatu teori belajar yang sistematis. Yang penting baginya ialah bagaimana cara-cara orang memilih, mempertahankan dan mentransformasikan informasi secara aktif, dan inilah menurut Bruner inti dari belajar.
Pendekatan Bruner terhadap belajar dilakukan pada dua asumsi. Asumsi pertama ialah, bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan, tetapi juga dalam diri orang itu sendiri. Asumsi kedua ialah bahwa orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya.
Yang kedua adalah teori Aubel, Balam “Fasilitator” (2003:19) bersama Novak berpendapat tentang belajar sebagai berikut :
“Ada dua asumsi belajar, yaitu : dimensi penerimaan/penemuan dan dimensi hafalan/bermakna, yang tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinuum. Dengan dikotomi sederhana, hafalan/bermakna dimaksudkan hafalan atau bermakna. Sedangkan dengan kontinuum hafalan/bermakna dimaksudkan kedua macam belajar itu selalu terjadi pada diri anak, hanya berbeda dalam kadarnya. Bila belajar hafalan berkurang, maka belajar bermakna bertambah. Demikian pula dengan dimensi penerimaan/penemuan.
Dari pandangan tiga ahli di atas, maka timbul pemikiran baru tentang pendekatan atau strategi belajar yang dimaksud oleh peneliti, yaitu : Strategi belajar yang memberikan kesempatan belajar sendiri di bawah strategi guru, dan dengan belajar sendiri tersebut diharapkan siswa akan menemukan dan mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya. Sedangkan guru bertindak selaku fasilitaor dan moderator yang membimbing dan menjamin agar strategi tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Diharapkan dengan teknik moderasi dan fasilitas yang diberikan kepada siswa untuk memanfaatkan kesempatan belajar dengan aktif, mereka dapat belajar untuuk belajar bagaimana caranya mengumpulkan pengetahuan.
Riberu, dalam “Pengantar Mengajar Dengan Sukses”, (1991:xxi) menyatakan sebagai berikut :
“Cara mengajar yanmg ingin mencapai hasil seperti utarakan di atas, harus memberi keleluasaan secukupnya kepada peserta didik untuk melatih kemampuannyadalam berbagai macam kegiatan, yang menuntut sumbangan dari kemampuan tersebut. Learning by doing, berlajar sambil berbuat, itulah yang dicanangkan oleh Paedagogik mutakhir. Tiap pengajaran wajib membantu proses belajar, dengan merangsang peserta didik untuk sendiri giat melakukan sesuatu. Dalam kegiuatan yang direncanakan dan dibuat sendiri oleh peserta didik dapat melatih kemampuannya, dan meresapkan apa yang didengarnya lewat pengalaman yang pasti meninggalkan bekas yang bermanfaat dalam perangkat dirinya.”
Gambaran ini, jelas bahwa bila dikaitkan dengan uraian dalam pembahasan teori di atas, telah dapat disimpilkan, bahwa pembelajaran dengan melakukan dan berbuat sendiri, sangat sesuai dengan Pembelajaan aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dengan memahami diri bahwa sesuatu pekerjaan bila dikerjakan dengan menyenangkan, pasti akan dapat dipetik hasilnya.
Degeng, dalam “Pokok Pikiran Revolusi Belajar embelajaran”, (2003), menyatakan bahwa seorang siswa tidak akan dapat berhasil mengkonstruksi hasil belajar sebagai suatu bentuk bangunan pengetahuan dalama dirinya, bila tidak sejahtera dalam belajar. Bila dalam mengikuti proses belajar dan pembelajaran selalu ditekan dan tertekan, akaibat banyaknya hapalan, banyaknya tugas dan banyaknya larangan dan batasan yang diberikan oleh guru. Demikian pula Winarno Surakhmad dalam “Reformasi Pendidikan Dasar” (2003), menyatakan bahwa rutinitas mendengarkan ceramah guru oleh siswa mengakibatkan siswa tidak belajar, tetapi hanya mengingat yang diajarkan.
Demikian pula yang diuraikan oleh Budiman Hardjomarsono, dalam “Terapan Otonomi dalam mengelola sekolah, (2003), yang menekankan tentang pentingnya penerapan metode PAKEM, sebagai berikut :
“Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang bermutu dengan menerapkan metode PAKEM. Guru berkewajiban untuk mengupayakan agar pembelajaran dirancang sebaik-baiknya sehingga kepentingan dan kondisi perorangan siswa diperhatikan. Siswa terlibat dalam pembelajaran secara aktif, dengan irama dan cara belajar yang bervariasi, supaya tidak lagi terjadi proses pembelajaran yang berpusat pada guru.
Jadi, telah banyak peneliti yang melakukan penelitian bagaiman sebenarnya terapan PAKEM ini terhadap hasil belajar yang diupayakan. Sehingga tidak ada kelirunya bila dalam penelitian ini, peneliti juga mengembangkan pembelajaran PAKEM ini sebagai wahana baru di dunia pendidikan untuk mendekatkan siswa dengan alam belajarnya.
BAB III
KESIMPULAN
·         Pelaksanaan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Siswa aktif membangun cara belajarnya, akrena guru tidak menerangkan, meminta menghapal, atau terpaksa berbuat demi keinginan guru.
·         Strategi yang dilakukan guru agar siswa aktif, kreatif dan senang belajar adalah selalu memberi keleluasaan agar siswa mengembangkan keinginan belajar sesuai dengan cara yang diinginkannya.
·         Pengaruh terhadap siswa yang melakukan aktifitas belajar adalah, siswa merasa sejahtera dan betah di kelas, karena tidak diharuskan menghapal dan bangga bahwa mereka berani bertanya dan diskusi dengan gurunya.