BAB I
PENDAHULUAN
Proses Pembelajaran merupakan suatu kegiatan
yang dilaksanakan oleh guru, dalam menyampaikan materi yang diajarkan kepada
siswa dalam suatu lembaga pendidikan agar dapat mempengaruhi cara siswa
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan pada
dasarnya mengajak para pesera didik menuju pada perubahan tingkah laku baik
intelektual, moral maupun sosial. Dalam mencapai tujuan tersebut berinteraksi
dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru melalui proses pembelajaran.
Seperti yang tercantum dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (2005:15) yaitu:
Fungsi tujuan nasional yaitu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan mengacu pada tujuan pendidikan
nasional maka dengan sendirinya guru dituntut untuk dapat mengembangkan potensi
anak didik dengan memperhatikan materi apa yang terkandung pada mata pelajaran
yang akan diajarkannya karena dengan begitu maka seorang guru mampu memberikan
yang terbaik bagi siswanya.
Seiring dengan perkembangan zaman serta Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, maka kita dituntut untuk terus mengadakan
pembaharuan disegala lini kehidupan. Terutama yang bersentuhan langsung dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, dimana dalam Sistem yang ada di dalam pendidikan
harus terus mengadakan perubahan kearah yang positif. Berbagai teknik
pembelajaran, baik itu metode, pendekatan, maupun tata cara atau aturan dalam
pembelajaran banyak dirancang untuk menghasilkan transfer ilmu pengetahuan dari
guru ke siswa yang lebih optimal. Terkhusus Metode Pembelajaran Aktif Kretif
Efektif dan Menyenangkan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengembangan
Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan
Sebuah proses pembelajaran, oleh seorang
guru profesional akan diharapkan untuk dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Dia akan berusaha agar pembelajarannya dapat diterima siswa dengan daya
serap yang tinggi, dan siswanya memiliki nilai, kemampuan dan ketrampilan.
Suharsimi Arikunto (1999) dalam ‘Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan
Praktek”. Menyatakan :
“Seorang guru mempunyai tugas mendidik dan
mengajar. Ia membantu si anak didik. Ia selalu berusaha agar kadar bantuannya
dapat meningkat, sehingga diperoleh hasil yang lebih baik. Usahanya ada
bermacam-macam. Mungkin ia memberikan motivasi belajar yang banyak. Mungkin ia
mengganti metode yang ia gunakan untuk menerangkan, mungkin ia mengubah alat
peraga dan sebagainya.”
Permasalahan yang saat ini sedang berkembang,
dan banyak dipertanyakan adalah, apakah pada saat kita berusaha mengajar
sebaik-baiknya, si anak juga akan belajar sebaik-baiknya? Winarno Surakhmad
dalam masalah ini, menyatakan :
“Karena itu saya ulangi sekali lagi,
mengajar diperlukan untuk memungkinkan terjadinya proses belajar. Bukan, dan
tidak pernah sebaliknya. Masalah yang dapat kita amati di dalam praktek, dan
patut selalu kita pertanyakan ialah, apakah ketika guru (merasa ) mengajar,
sudah pasti bahwa murid belajar. Kenyataan menunjukkan, bahwa hal itu tidak
selalu demikian. Sesekali anda sendiri pasti dapat mengamati bahwa
sesungguhnya rekan anda, atau anda sendiri barangkali? Telah berusaha mengajar
sebaik-baiknya, ada saja murid yang belum menunjukkan tanda-tanda telah
belajar, yakni tanda-tanda telah paham.”.
Bila seorang ahli telah berpendapat
demikian, dan kita juga merasakan bahwa apa yang kita lakukan selama ini
demikian pula, maka diperlukan satu pola baru, yang memungkinkan siswa belajar.
Atau dengan kata lain, diperlukan suatu strategi pembelajaran yang memungkinkan
untuk membelajarkan anak. Stratregi belajar yang memungkinkan anak untuk aktif
belajar. Dan untuk mengembangkan aktifitas belajar, dengan mengurangi sedikit
mungkin proses mengajar, adalah dengan cara mengembangkan kreatifitas siswa
untuk aktif belajar. Bambang Soenarko dalam “Metodologi Pembelajaran ”
menyatakan :
“Kreatifitas merupakan proses kerja baik
secara fisik maupun psikhis untuk menghasilkan sesuatu yang baru bagi yang
melakukan kreatifitas. Sedang guru yang mendorong kreatifitas adalah
guru yang menciptakan kondisi bagi siswa untuk aktif memproses sendiri
pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dimilikinya sebagai hasil belajar.”
Pandangan Bambang Soenarko sangat jelas
sebenarnya, yaitu bahwa guru dalam proses pembelajaran harus mempunyai strategi
agar siswanya memiliki kondisi untuk aktif memproses sendiri pengetahuan, sikap
dan ketrampilan yang dimilikinya, sebagai hasil belajar. Sebenarnya banyak hal
yang dapat dilakukan. Namun, karena beberapa saat yang lalu, kita belum
benar-benar menyadari, maka hanya menjadi satu kata mutiara yang kurang
bermakna.
Bentuk yang memungkinkan untuk menumbuhkan
aktifitas, kreatifitas, dan mampu mengembangkan motivasi siswa untuk belajar,
dapat dilihat dari apa yang disampaikan dalam “Pendekatan kontekstual”
Depdiknas (2003:1) serbagai berikut :
“Pentingnya lingkungan belajar :
·
Belajar efektif itu dimulai
dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari “guru akting di depan
kelas, siswa menonton, Ke “siswa akting bekerja dan berkarya, guru
mengarahkan.”
·
Pengajaran harus
berpusat pada “bagaimana cara” siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.
“Strategi belajar” lebih penting dibandingkan hasilnya.
·
Umpan balik amat penting bagi
siswa, yang berasal dari proses penilaian (assesment) yang benar.
·
Menumbuhkan komunitas belajar
dalam bentuk kerja kelompok itu penting.”
Dikaitkan dengan beberapa hasil studi
banding yang dilaksanakan beberapa saat yang lalu , diperoleh beberapa catatan
yang dapat dikaitkan dengan yang ditunjukkan oleh pendekatan kontekstual.
Beberapa catatan itu sebagai berikut :
1.
Dibentuk kelompok-kelompok yang
terdiri dari maksimal 6 orang, yang berfungsi sebagai sarana pengembangan
kreatifitas di bawah strategi guru. Kelompok dipandang sebagai landasan untuk
membentuk “komunitas belajar.”
2.
Guru mengembangkan strategi
pembelajaran dengan menggunakan teknik moderasi, sehingga memungkinkan
mengarahkan siswa tanpa memberikan petunjuk. Tetapi memancing siswa agar
“berfikir ke arah itu.” Jadi di sini guru tidak meninggalkan siswa untuk aktif
sendiri, tetapi mengembangkan strategi yang memungkinkan siswa untuk
berfikir dan bertindak ke arah aktifitas dan kreatifitas belajar dengan
sendirinya.
3.
Siswa belajar dengan
mempertimbangkan apa, mengapa dan bagaimana yang dipelajarinya. Dengan terlebih
dahulu melihat beberapa fortofolio yang dimilikinya, dan berdiskusi dengan guru
pembimbing tentang mengapa ia belajar. Sehingga mereka melakukan
aktifitas belajar dengan sadar akan apa yang dilakukannya.
4.
Siswa dipersilahkan
memilih sendiri akan belajar dengan model bagaimana, membaca, berdiskusi dengan
teman, atau dengan guru, atau bahkan ingin mengunjungi perpustakaan untuk melengkapi pengetahuan berkait dengan pengetahuan yang
dimilikinya.
5.
Siswa bersama guru menentukan
nilai fortofolio yang dikerjakannya, dan dipajang ditempat yang tertera
namanya.
Dengan konsep-konsep di atas, diharapkan,
khususnya guru, akan mau dan mampu untuk mengembangkan strategi
pembelajarannya, dan merubah paradigma berfikirnya, dengan membelajarkan anak.
Atau dengan kata lain memiliki tekad bahwa tujuan pembelajaran yang
dilakukannya adalah agar anak belajar untuk belajar memilki dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.
2.
Strategi Pembelajaran.
Telah banyak dikemukaan di atas tentang
strategi pembelajaran yang kini sedang dikembangkan. Mengapa strategi
pembelajaran?
Karena sejalan dengan banyaknya kritik para
ahli tentang kegagalan pendidikan di Indonesia . Dan mengapa terjadi
kegagalan, kita simak yang ditulis oleh Winarno Soerakhmad dalam “Mungkinkah
mengembangkan sendiri kurikulum di sekolah ?” (2003) yang dimuat dalam
Fasilitator berikut :
“Relatif masih banyak Kepala Sekolah dan
guru yang tidak pernah mengerti betul apa yang dimaksudkan oleh para penyusun
kurikulum dengan berbagai konsep di dalam setiap kurikulum baru, sampai saatnya
kurikulum itu harus diganti dengan kurikulum yang lebih baru. Ada kemungkinan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) yang sekarang sedang dipertanyakan, disosialisasikan, diuji cobakan dan
dikembangkan oleh pemerintah, akan mengulangi penderitaan para guru yang tidak
mengerti arah yang dituju, persis seperti ketika menghadapi kurikulum 1994.”
Ini adalah bentuk kegagalan yang pertama
dari bentuk sosialisasi dan pemberlakukan kurikulum yang tidak disertai dengan
pemahaman yang mendalam tentang esensi dari kurikulum itu sendiri.
Bentuk kegagalan yang ke dua adalah juga
yang digambarkan oleh Winarno Surakhmad dalam “Ketika Guru Mengajar, Apakah
Murid Belajar?” (2003) berikut :
“Mengajar yang baik tidak harus berarti
banyak mengajar (baca : menjelaskan). Bukan makin banyak makin baik. Bukan yang
banyak yang baik. Tetapi yang baik selalu bernilai banyak. Mengajar yang
berlebihan justru sering menggambarkan kelemahan kompetensi guru, Ada sedikitnya dua
kemungkinan penyebabnya.
Pertama : karena guru menganggap murid-muridnya terlalu bodoh,
sehingga “walaupun sudah diterangkan seribu kali” murid-murid masih saja tidak
mengerti.
Kedua : karena gurunya justru gagal untuk belajar bagaimana menjadi
guru yang efektif.”
Mengapa gagal untuk belajar menjadi guru
yang efektif ? Banyak hal yang harus dicermati. Dalam “Pendekatan Kontekstual”
(2003) disampaikan hal berikut :
“Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi
oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai seperangkat fakta-fakta yang harus
dihapal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan,
kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu diperlukan
sebuah strategi belajar “baru” yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi
belajar yang tidak mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah
strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan-pengetahuan dibenak
mereka sendiri.”
Pendapat di atas mengacu pada strategi
belajar yang memberdayakan siswa. Dalan hal ini terdapat penekanan, yaitu memberdayakan
siswa. Dan untuk memberdayakan siswa agar dapat belajar maksimal,
diperlukan guru-guru yang mau merubah pandangannya tentang mengajar. Salah satu
bentuk perubahannya adalah seperti yang diuraikan oleh “Pendekatan kontekstual”
(Contextual teaching and Learning) berikut :
“Pendekatan kontekstual (contextual teaching
and learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkannya dengan situiasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan dengan yang dimiliki dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep
itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja
dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi
pembelajaran lebih penting daripada hasil” (2003:1)
Strategi pembelajaran lebih ditekankan dari pada hasil, karena
selama sekian tahun kita telah dimabukkan dengan pencapaian prestasi, merusak
pembentukan belajar untuk belajar mengumpulkan pengetahuan
Pengembangan Pembelajaran Aktif
Kreatif Efektif dan Menyenangkan Sebagai Strategi mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Situasi belajar yang
demikian akan memotivasi setiap pembelajar untuk mengaktualisasikan,
mendayagunakan dan mengembangkan potensi-potensi secara optimal dalam suatu
orkestra interaksi multi arah yang harmonis, dan atas hamparan kasih sayang dan
empati guru.”(2003:5)
Strategi pembelajaran yang demikian, di mana
siswa tidak lagi harus menghapalkan data dan fakta-fakta yang acak, yang kelak
juga akan membentuk pola dan landasan berfikir yang acak pula, diharapkan lahir
manisia-manusia baru yang lebih sistematis dalam berfikir, berbicara,
bertindak, mampu mengembangkan nilai, moral dan etika. Dengan strategi
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM), akan tumbuh
pula manusia-manusia baru yang berfikir serta bertingkah laku yang aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan pula.
Demikian pula dalam hal agar guru mau
mengurangi sebanyak mungkin mengajarnya, serta menggantinya dengan strategi
siswa belajar dengan mengkonstrusi pengetahuan (Constructivisme Learning/CL),
Tetapi yang penting adalah bagaimana guru dapat mengembangkan strategi agar
siswa dapat belajar dengan aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Teori Bruner (Fasilitator Edisi I Tahun
2003:18) tentang belajar perlu kita simak untuk lebih memberikan pemahaman kita
tentang belajar sebagai berikut :
“Bruner tidak mengembangkan suatu teori
belajar yang sistematis. Yang penting baginya ialah bagaimana cara-cara orang
memilih, mempertahankan dan mentransformasikan informasi secara aktif, dan
inilah menurut Bruner inti dari belajar.
Pendekatan Bruner terhadap belajar dilakukan
pada dua asumsi. Asumsi pertama ialah, bahwa perolehan pengetahuan
merupakan suatu proses interaktif. Orang yang belajar berinteraksi dengan
lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan, tetapi
juga dalam diri orang itu sendiri. Asumsi kedua ialah bahwa orang
mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang disimpan yang
diperoleh sebelumnya.
Yang kedua adalah teori Aubel, Balam
“Fasilitator” (2003:19) bersama Novak berpendapat tentang belajar sebagai
berikut :
“Ada dua asumsi belajar, yaitu : dimensi penerimaan/penemuan dan
dimensi hafalan/bermakna, yang tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan
merupakan suatu kontinuum. Dengan dikotomi sederhana, hafalan/bermakna
dimaksudkan hafalan atau bermakna. Sedangkan dengan kontinuum hafalan/bermakna
dimaksudkan kedua macam belajar itu selalu terjadi pada diri anak, hanya
berbeda dalam kadarnya. Bila belajar hafalan berkurang, maka belajar
bermakna bertambah. Demikian pula dengan dimensi penerimaan/penemuan.
Dari pandangan tiga ahli di atas, maka
timbul pemikiran baru tentang pendekatan atau strategi belajar yang dimaksud
oleh peneliti, yaitu : Strategi belajar yang memberikan kesempatan belajar
sendiri di bawah strategi guru, dan dengan belajar sendiri tersebut diharapkan
siswa akan menemukan dan mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya. Sedangkan
guru bertindak selaku fasilitaor dan moderator yang membimbing dan menjamin
agar strategi tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Diharapkan dengan
teknik moderasi dan fasilitas yang diberikan kepada siswa untuk memanfaatkan
kesempatan belajar dengan aktif, mereka dapat belajar untuuk belajar bagaimana
caranya mengumpulkan pengetahuan.
Riberu, dalam “Pengantar Mengajar Dengan Sukses”, (1991:xxi)
menyatakan sebagai berikut :
“Cara
mengajar yanmg ingin mencapai hasil seperti utarakan di atas, harus memberi
keleluasaan secukupnya kepada peserta didik untuk melatih kemampuannyadalam
berbagai macam kegiatan, yang menuntut sumbangan dari kemampuan tersebut.
Learning by doing, berlajar sambil berbuat, itulah yang dicanangkan oleh
Paedagogik mutakhir. Tiap pengajaran wajib membantu proses belajar, dengan
merangsang peserta didik untuk sendiri giat melakukan sesuatu. Dalam kegiuatan
yang direncanakan dan dibuat sendiri oleh peserta didik dapat melatih
kemampuannya, dan meresapkan apa yang didengarnya lewat pengalaman yang pasti
meninggalkan bekas yang bermanfaat dalam perangkat dirinya.”
Gambaran ini, jelas bahwa bila dikaitkan
dengan uraian dalam pembahasan teori di atas, telah dapat disimpilkan, bahwa
pembelajaran dengan melakukan dan berbuat sendiri, sangat sesuai dengan
Pembelajaan aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dengan memahami diri
bahwa sesuatu pekerjaan bila dikerjakan dengan menyenangkan, pasti akan dapat
dipetik hasilnya.
Degeng, dalam “Pokok Pikiran Revolusi
Belajar embelajaran”, (2003), menyatakan bahwa seorang siswa tidak akan dapat
berhasil mengkonstruksi hasil belajar sebagai suatu bentuk bangunan pengetahuan
dalama dirinya, bila tidak sejahtera dalam belajar. Bila dalam mengikuti proses
belajar dan pembelajaran selalu ditekan dan tertekan, akaibat banyaknya
hapalan, banyaknya tugas dan banyaknya larangan dan batasan yang diberikan oleh
guru. Demikian pula Winarno Surakhmad dalam “Reformasi Pendidikan Dasar”
(2003), menyatakan bahwa rutinitas mendengarkan ceramah guru oleh siswa mengakibatkan
siswa tidak belajar, tetapi hanya mengingat yang diajarkan.
Demikian pula yang diuraikan oleh Budiman
Hardjomarsono, dalam “Terapan Otonomi dalam mengelola sekolah, (2003), yang
menekankan tentang pentingnya penerapan metode PAKEM, sebagai berikut :
“Pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar yang bermutu dengan menerapkan metode PAKEM. Guru
berkewajiban untuk mengupayakan agar pembelajaran dirancang sebaik-baiknya
sehingga kepentingan dan kondisi perorangan siswa diperhatikan. Siswa terlibat
dalam pembelajaran secara aktif, dengan irama dan cara belajar yang bervariasi,
supaya tidak lagi terjadi proses pembelajaran yang berpusat pada guru.
Jadi, telah banyak peneliti yang melakukan
penelitian bagaiman sebenarnya terapan PAKEM ini terhadap hasil belajar yang
diupayakan. Sehingga tidak ada kelirunya bila dalam penelitian ini, peneliti
juga mengembangkan pembelajaran PAKEM ini sebagai wahana baru di dunia
pendidikan untuk mendekatkan siswa dengan alam belajarnya.
BAB III
KESIMPULAN
·
Pelaksanaan pembelajaran aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan. Siswa aktif membangun cara belajarnya,
akrena guru tidak menerangkan, meminta menghapal, atau terpaksa berbuat demi
keinginan guru.
·
Strategi yang dilakukan guru
agar siswa aktif, kreatif dan senang belajar adalah selalu memberi keleluasaan
agar siswa mengembangkan keinginan belajar sesuai dengan cara yang
diinginkannya.
·
Pengaruh terhadap siswa yang
melakukan aktifitas belajar adalah, siswa merasa sejahtera dan betah di kelas,
karena tidak diharuskan menghapal dan bangga bahwa mereka berani bertanya dan
diskusi dengan gurunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar